Tinggal di sebuah asrama yang ada di bawah naungan Universitas Al-Azhar adalah sebuah anugerah terbesar buatku. Bersama lebih dari ribuan pelajar dari lebih dari 100 negara dari berbagai penjuru dunia. Dari yang berkulit paling hitam sampai yang paling putih melebur menjadi satu. Indahnya Islam. Di sini kami tak pernah dituntut apapun kecuali belajar, belajar, dan belajar. Uang saku dan berbagai fasilitas tersedia dan semuanya "cuma-cuma"
Masjid asrama menjadi tempat terfavorit sebagian pelajar disini. Selain karena selalu buka 24 jam, nyamannya kamar tidur yang membuat mata enggan terbuka walau untuk membaca satu halaman dari beratus-ratus lembar diktat kuliah. Jadilah, masjid menjadi salah satu alternatif untuk mendongkrak semangat baca dan menghindari rasa malas.
Malam itu, ba'da Isya aku niatkan I'tikaf di masjid sampai terbit fajar. Setelah mengulang hapalan qur'anku sebentar, tak lama rasa kantuk pun menyerang dan sungguh tak tertahankan.
Pukul 21.00 (Waktu Kairo), ku rebahkan badan tepat di pojok sisi kanan ruangan dalam masjid. Aku lelah. Sebelum mata ini terpejam aku sempat melihat seorang pria hitam masuk ke ruangan masjid kemudian shalat di sebelah mimbar.
Pukul 22.00, aku sempat terjaga. Dering "hape" pertanda sms masuk membangunkan tidurku. Setelah membalas sms itu, aku putuskan untuk meneruskan tidurku. Tapi, ketika kupalingkan wajah ke mimbar, aku agak kaget. Pria hitam tadi masih saja berdiri. "sejam sudah, dia shalat apa?" pikirku. Tak mau ambil pusing aku tidur kembali.
Pukul 02.00 pagi, aku kembali terjaga. Kali ini rasa lapar melilit perutku. Aku baru ingat malam ini belum ada sebutir nasipun masuk ke mulutku. Niat untuk I'tikaf sampai fajar terpaksa batal, rasa lapar ini sudah tak tertahankan. Sebelum beranjak keluar dari pintu masjid, aku terdiam, mataku terpaku, tegak tak bergerak menghadap ke arah mimbar. Kali ini aku benar-benar kaget, pria hitam yang sama masih saja berdiri dalam shalatnya dengan mulut komat-kamit melantunkan ayat-ayat Allah.
"Allahu Akbar!" pekikku dalam hati, "tuh orang kagak ada capeknya apa?"
Rasa lapar memaksaku untuk segera pulang. Setelah makan dan kemudian shalat tahajjud beberapa raka'at, pukul 03.30 aku kembali lagi ke masjid. Setengah jam lagi adzan subuh berkumandang.
Kau pasti bisa menebak sobat, apa yang kulihat ketika menginjakkan kaki di masjid?
"Benar..!" pria hitam itu masih berdiri dalam shalatnya.
"Gila..!" (baca "wah..!") pikirku.
Lima menit menjelang subuh pria hitam itu pun berhenti dari shalat panjangnya. Usai salam ia langsung berdiri menyalakan microphone masjid untuk mengumandangkan adzan.
Rasa takjubku tak terhenti sampai disitu sobat!. Malam-malam berikutnya aku teruskan I'tikaf di masjid itu, dan pria hitam itu juga melakukan hal yang sama seperti malam itu. Aku baru tahu ternyata itu adalah rutinitasnya setiap malam.
Sebagian kita pasti pernah mendengar hadits Aisyah RA yang menceritakan perihal shalat malam Nabi yang begitu lama dan panjang sampai kakinya bengkak akibat lama berdiri. Mungkin diantara kita ada yang "nyeletuk" : "terang aja..! Beliau kan Nabi Allah!" Lantas bagaimana dengan Usman bin 'Affan RA yang mengkhatamkan Al-qur'an dalam satu raka'at shalat witir?. Begitu juga Umar RA yang walaupun berperangai "keras" tapi di kedua belah pipinya ada garis hitam bekas air mata karena menangis takut kepada tuhanNya. Mungkin dengan enteng sebagian kita akan berkelakar "Pantas..! mereka langsung dibimbing oleh Nabi kan?"
Kalau begitu bagaimana dengan pria hitam itu? Ia hidup di zaman kalian hidup. Memakan apa yang kalian makan. Walaupun Nabi sudah hampir 15 abad meninggalkannya. Mungkin ada ribuan bahkan jutaan orang sepertinya, tapi karena seringnya kita mendengar hal buruk seolah tak ada lagi contoh "manusia langit yang kita temukan dalam hidup ini.
Memang benar, kita hidup di zaman orang baik dianggap sok suci, yang rajin ke masjid dianggap aneh, kata-kata nasehat dianggap "basa basi". Tapi paradigma-paradigma dangkal itu bukan berarti menjadi pembelaan dari kemalasan-kemalasan kita mengabdi kepada Allah.
Kudengar rasa cinta membuat pengorbanan sepedih apapun menjadi mudah. Bahkan, pengorbanan itu berubah menjadi kenikmatan. Tapi kenapa berat sekali melangkahkan kaki ke masjid ketika mendengarNya memanggil?. Rasanya 2 raka'at shalat tahajjud dalam tempo 10 menit sudah terlalu panjang bagi kita. Bahkan menyisihkan 500 rupiah untuk sedekah saja mungkin juga terlalu berat bagi kita.
و الذين أمنوا أشدّ حبّا لله
"adapun orang-orang beriman sangat besar kecintaan mereka terhadap Allah" (al-Baqarah: 165)
Kita terlalu jauh dari sifat mukmin sejati. Rasa malas selama ini adalah bukti kita belum benar-benar mencintaiNya. Pria hitam itu menjadi bukti bahwa kita pun mampu. Bahkan shalat sepanjang malam sekalipun bukanlah suatu hal yang luar biasa kalau kita benar-benar mencintaiNya.
Berhentilah dari anggapan bahwa yang kita bukan "mereka", shalat kita tidak mungkin seperti shalat "mereka", zaman ini berbeda jauh dengan zaman "mereka".
Sulit memang, tapi Allah maha adil. Allah pasti melihat jerih payah kita. Allah pasti akan menunjukkan jalanNya kepada kita, asal kita mau bersungguh-sungguh berusaha mencapainya. Mengutip perkataan Almarhum Sayyid Thantawi yang selalu diucapkannya berulang-ulang setiap selesai shalat jum'at di masjid asrama ketika kami memasuki musim ujian di Al Azhar. Firman Allah Al-Qur'an surat Al-Zalzalah: 7-8 "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya diakan melihat (balasan)nya pula." Almarhum mengatakan "balasan" diayat ini bukanlah terbatas di akhirat saja, bahkan di dunia pun Allah membalasnya.
Seminggu setelahnya, usai shalat shubuh kuputuskan untuk berkenalan dengan pria hitam itu aku pun menghampirinya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan berkenalan dengan "pria langit" yang satu itu.
"Masmukal karim ya akhi?" (Akhi..! siapa nama anda?)"Ismy Fily min kongo" (Nama saya Fili dari Negara Kongo)
Selamat mencoba menjadi "manusia-manusia langit" di abad 21.
Oleh Ahmad Syukri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar